1) Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. (2) Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berqurbanlah.
(3) Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu Dialah yang terputus. (QS108, Al Kautsar : 1-3)
Surat Al Kautsar yang terdiri dari 3 ayat ini, adalah merupakan surat terpendek dalam Al Qur’an, dan sangat favorit bagi sebagian dari kita membaca surat ini dalam mendirikan sholat. Namun demikian makna yang terkandung dalam surat ini sangat dalam sekali, karena salah satu dasar hukum diperintahkannya umat Muslim untuk berqurban.
Berkaitan dengan bulan Dzulhijjah, banyak pertanyaan atau pernyataan yang di sampaikan diseputar qurban. Misalnya pertanyaan: apakah kita harus berqurban? Uang pensiun kita kan tidak cukup untuk membeli kambing?. Sekarang saya tidak berqurban, tahun lalu saya sudah berqurban kok? Insya Allah saya berqurban tahun depan kalau ada rezeki.
Padahal, sebagaimana disebutkan dalam ayat pertama surat Al Kautsar tersebut Allah swt menyatakan bahwa manusia itu oleh Allah swt telah di beri nikmat yang sangat banyak. Kita dapat merasakan bahwa kita lahir ke dunia ini dalam kondisi tidak membawa apa-apa dan tidak memiliki apa-apa, kita lahir telanjang bulat. Maka segala apa yang ada pada kita saat kini adalah semata-mata karena nikmat dariNya. Kesempurnaan serta berfungsinya seluruh anggota tubuh kita adalah juga suatu nikmat Allah yang Maha Pemurah.
Demikian pula kita dapat mencapai usia pensiun dan menikmati uang pensiunan di masa senja kita juga merupakan suatu nikmat yang patut kita syukuri. Karenanya, guna mewujudkan rasa syukur atas kenikmatan itu, maka jalan terbaik adalah memperkuat tingkat ketakwaan kita, yaitu dengan mendirikan sholat dan berqurban sebagaimana firmanNya dalam ayat ke dua Surat Al Kautsar tersebut. Dimaksudkan dengan berkorban disini adalah menyembelih hewan Qurban baik berupa sapi, kambing, domba dll Di bulan Dzulhijjah yang sebentar lagi akan hadir, kita harus membuktikan rasa syukur dengan ikhlas membeli hewan qurban untuk di sembelih. Dengan kondisi seperti itu -- bagi yang memiliki kelebihan harta -- sebenarnya sedang diuji, apakah termasuk hamba Allah yang bersyukur atau tidak. Bukankah harta yang diperoleh selama ini adalah anugerah dan pemberianNya? Kenapa ketika Allah SWT menghendaki agar menyisihkan sebagian kecil saja, timbul rasa berat di dalam jiwa? Padahal Allah SWT telah melimpahkan nikmat begitu banyak dan tak terhingga.
Qurban, secara harfiah artinya mendekatkan, maksudnya tentu saja mendekatkan diri kepada Tuhan, dengan cara mendekatkan diri pada sesama manusia, khususnya mereka yang tidak mampu. Hukum berqurban adalah tidak wajib, yaitu sunnah, namun para ahli fiqh mengatakan : “…selayaknya bagi mereka yang mampu, tidak meninggalkan berqurban. Karena dengan berqurban akan lebih menenangkan hati dan melepaskan tanggungan.....” sehingga sebagian ulama’ mengatakan hukum berqurban itu adalah Sunnah Muakkadah.
Namun demikian, ada ulama’ yang mengatakan wajib dengan dalil hadits Abu Hurairah yang menyatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa yang berkelapangan (harta) namun tidak mau berqurban maka jangan sekali-kali mendekati tempat shalat kami.” (HR. Ibnu Majah) Dari status hukum qurban tersebut ada penekanan tentang “bagi mereka yang mampu”, sehingga timbul permasalahan batasan mampu itu apa ukurannya? Jika dibandingkan dengan manusia teladan kita, Muhammad Rasulullah saw serta para sahabatnya, yang hidup dengan sederhana, kesederhanaan beliau dan para sahabat banyak kita ketahui dari risalah Islam. Rumah Rasulullah saw hanya berukuran 3 x 4 meter, kadang-kadang perut beliau diganjal dengan beberapa batu untuk menahan rasa lapar.
Namun demikian beliau merasa bahwa nikmat yang telah Allah swt berikan begitu banyak, sehingga beliau mensyukurinya dengan menyembelih binatang korban. Apakah kita termasuk orang yang mampu ???? Ukuran “mampu” berqurban, hakikatnya sama dengan ukuran kemampuan shadaqah, yaitu mempunyai kelebihan harta (uang) setelah terpenuhinya kebutuhan pokok -- yaitu sandang, pangan, dan papan, dan terpenuhinya kebutuhan penyempurna/ sekunder yang lazim bagi seseorang. Jika seseorang masih membutuhkan uang untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut, maka dia terbebas dari menjalankan sunnah qurban Semoga kita termasuk pada golongan mampu, karena kebutuhan pokok dan sekunder terpenuhi, dan kelebihannya itu kita belikan hewan qurban. Namun demikian, kadangkala muncul secara tiba-tiba di benak kita, aneka kebutuhan yang masih tertunda dan "harus" dipenuhi segera. Padahal jika kita pikir ulang, kebutuhan itu bukanlah kebutuhan sebenarnya yang bersifat mendesak, melainkan hanya sekedar keinginan hawa nafsu belaka.
Secara simbolis kita memang mengorbankan hewan ternak yang kita beli, namun secara substansi kita mengorbankan sifat-sifat buruk yang bersarang dalam diri manusia. Dengan kurban kita menyembelih sifat kebinatangan yang mengotori hati kita, misalkan: egois, materialistis, hedonistis, yang mengukur segalanya dengan uang. Selain itu, melalui ibadah kurban, Allah melatih manusia untuk meningkatkan kepekaan sosialnya kepada sesama. Melalui kurban pula Allah berpesan bahwa Dia hanya bisa didekati bila kita mendekati saudara-saudara kita yang kekurangan. Dengan setiap tahun berkurban minimal seekor kambing, akan mendidik kita agar memiliki jiwa-jiwa pengorbanan untuk kemaslahan sosial masyarakat luas. Semoga semangat kurban senantiasa menumbuhkan semangat jiwa sosial dalam diri kita masing-masing. Amin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar